Minggu, 26 Juni 2011

Neo Positivisme dan Perkembangannya

BAB I
PENDAHULUAN

Neo Positivisme dan Perkembangannya

Pendahuluan
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Positivisme logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Asal dan Gagasan Positivisme Logis
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.

BAB II
Pembahasan
Positivisme Logis
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Auguste Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.

Karl R Popper: Kritik terhadap Positivisme Logis
Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.

Teori Positivisme dalam Kajian Hukum

Metodologi Monisme Kaum Positivis,
Yang Juga  Dikembangkan Orang di Ranah Jurisprudence

Berpenjelasan seperti itu, kaum positivis ini sesungguhnya menganut paham monisme dalam ihwal metodologi keilmuan. Artinya, bahwa dalam kajian sains itu hanya ada satu metode saja yang dapat dipakai untuk menghasilkan simpulan yang berkepastian dan lugas. Itulah scientific method yang secara objektif benar untuk didayagunakan dalam kajian ilmu pengetahuan, baik yang alam dan hayat (natural and life sciences) maupun yang social-kultural (social sciences). Menurut kaum positivis ini, mempelajari perilaku benda-benda mati dalam fisika dan mempelajari perilaku manusia (yang konon mempunyai jiwa dan ruh) tidaklah perlu dibedakan. Dua macam perilaku dalam ranah yang berbeda ini dikatakan sama-sama dikontrol oleh hukum sebab-akibat yang hanya dapat dijelaskan sebagai imperativa-imperativa yang berlaku secara universal. Syahdan, memasuki abad 20, sebagaimana dibuktikan dengan diselenggarakannya pertemuan ilmuwan dari berbagai kalangan disiplin sedunia di Wina pada tahun 1928, positivisme kian tampil untuk meneguhkan keyakinannya akan kebenaran monisme dalam metodologi ilmu pengetahuan.
Ditegaskan dalam pertemuan itu bahwa hanya ada satu metode untuk menemukan pengetahuan yang akan dapat diakui berkebenaran menurut tolok ilmu pengetahuan (scientific truth). Semua upaya manusia untuk memperoleh pengetahuan yang terakui kesahihan (validity) dan keterandalannya (reliabililty) – baik itu pengetahuan tentang fenomen anorganik dan organik maupun yang tentang fenomen supraorganik (social-kultural) mestilah mengikuti metodologi yang sama. Ialah mengikuti aturan-aturan prosedural untuk memperoleh pengetahuan tentang suatu fenomen yang “bersih” dari sembarang unsur yang bersifat evaluatif dan yang – karena tak berada di ranah indrawi yang kasat mata – lalu menjadi sulit diukur-ukur sebagai variabel. Fenomen adalah fenomen, dan sebagai objek sains, fenomen secara nominal adalah realitas indrawi yang objektif. Maka dalam sains yang lugas dan buta-nilai itu tidak perlulah orang mencoba-coba mempersoalkan isi kandungannya yang substantif, ialah yang normatif, etis ataupun estetis (yang mungkin saja ada pada fenomen-fenomen itu).
Dari situlah bermulanya kerisauan puak pemikir dan pengkaji sosial yang tak habis pikir bagaimana mungkin fenomen manusia bisa direduksi secara konseptual cuma merupakan perilaku-perilaku jasmaniah yang kasatmata semata? Memang mungkin saja betul apa yang dikatakan kaum positivis, ialah bahwa metodologi yang memungkinkan eksperimentasi -- berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran yang akurat, berketerandalan dan sahih – dapat menjelaskan banayak hal mengenai objek-objek alam mati dan alam hidup yang nonmanusia. Akan tetapi, metodologi semacam ini dapatkah menjelaskan (explaining, erklaerung), apalagi untuk lebih lanjut memahami (understanding, verstehen) secara total dan utuh perilaku manusia yang kompleks ini? Bukankah apa yang menampak dalam perilaku dan tindakan manusia itu sebenarnya tak cuma bergatra fisikalbehavioral saja, melainkan juga berhakikat sebagai manifestasi-manifestasi itikat dan semangat, niat dan tekad?
Dari sini pulalah awal cabaran terhadap pemikiran kaum positivis yang selama ini menggerakkan pemikirannya dari pangkalan bertolak Galilean yang berparadigma deterministik itu. Bermula dari Max Weber, atau barangkali juga sebelumnya dari Karl Marx, datanglah pemikiran antitetik bahwa unsur intensi atau kehendak manusia – kalaupun bukan “kehendak” suatu dzat kekuatan supranatural yang metafisikal – haruslah ikut diperhitungkan dalam kajian-kajian yang bersangkutanm dengan kehidupan manusia yang riil. Hukum sebab-akibat yang dicoba diungkap untuk memperoleh kejelasan lewat kajian-kajian sains, dengan atau tanpa eksperimentasi, dalam alam kehidupan manusia tidaklah akan berlangsung sepenuhnya di alam yang objektif, terlepas dari kontrol subjek-subjek yang manusia itu. Pada kasus-kasusnya yang kongkrit, yang dikualifikasi sebagai kasus-kasus yang down to earth atau grounded, unsur kehendak subjektif manusia akan selalu tersimak mengintervensi dan mencabar kebenaran hukum sebab-akibat (yang semula diklaim bersifat universal itu). Pada kajian-kajian yang lebih “menggrondid” dan menjurus ke paradigma barunya yang lebih mengarah ke seni hermeunetika seperti ini kehidupan manusia menjadi lebih tertampak secara riil dalam diskripsi-diskripsi yang lebih partikularistik (kalaupun tak singularistik), serta pula mengesankan hadir dan bekerjanya kekuatan-kekuatan manusiawi yang rasional dan indeterministik.
Dari sini pulalah datangnya kesadaran para pengkaji ilmu pengetahuan sosial bahwa ilmu yang satu ini – seperti yang ditulis oleh George Ritzer – sesungguhnya berparadigma ganda dan oleh sebab itu pula juga bermetodologi ganda. Pada tataran makro-struktural – yang berobjekkan pola perilaku manusia yang terinstitusionalisasi – metodologi sains yang klasik dan yang memungkinkan kerja-kerja (quasi)- eksperimental tidaklah menimbulkan keberatan apapun apabila digunakan. Akan tetapi pada tataran yang mikro-interaksional, suatu metodologi baru yang dapat didayagunakan untuk mengajuk lebih dalam ke dalam alam imaji manusia yang kaya dengan simbol dan makna-makna  yang tak pernah dikenal dalam kajian-kajian fisika atas benda-benda mati – amat lebih diperlukan Apa yang diupayakan oleh Anselm Strauss dan Barney, dengan hasil yang ditulis dalam publikasi mereka berdua The Discovery of Grounded Theory Research adalah contoh usaha menanggapi kebutuhan metodologi yang baru ini.

Positivisme/Legisme Dalam Alam Pemikiran  
Para Pengkaji Ilmu Hukum (Jurisprudence)
Introduksi positivisme untuk menjelaskan liku-liku kehidupan bermasyarakat manusia, yang pada waktu itu tengah berkembang menuju ke kehidupan beruang lingkup nasional, memang  setidak-tidaknya pada masa-masa awalnya  cukup memenuhi harapan. Tertib masyarakat baru yang telah kehilangan karakter agraris-feodalistiknya, untuk segera beranjak ke modelnya yang kapitalistik-industrial, sudah sulit bisa dijelaskan atas dasar paradigmanya yang lama. Ialah paradigma yang acapkali tak cuma teleologik tapi juga teologik, seperti yang misalnya dikemukakan oleh Gottfried`Wilhelm Leibniz (1646-1716) tentang asumsi adanya pre-estabvlished harmonious order yang final dalam seluruh tatanan di alam semesta ini.
Maka transisi ke model kehidupan baru  dari yang lokal-parokhial ke yang translokal nasional dengan berbagai krisis dan suasana chaosnya  terasa benar kian memerlukan model kontrol-kontrol baru yang sentral. Inilah kontrol yang diyakini akan dapat diefektifkan lewat asumsi-asumsi paradigmatik yang baru namun juga lebih saintifik, ialah kontrol atas suatu akibat dengan mengontrol fenomen penyebabnya. Inilah kontrol yang tak lagi bisa diserahkan kepada bekerjanya Leibnizian ius yang menjamin keselarasan secara alami, melainkan yang harus diupayakan dengan paradigma baru yang Galilean, yang secara lebih positif tak hanya mampu menjelaskan hubungan kausalitas antara fenomen kontrol dengan tertib perilaku dalam masyarakat, melainkan bisa pula mengupayakan terwujudnya suatu ketertiban pada tataran yang lebih bertaraf nasional.
Maka dari sinilah datangnya penjelasan mengapa Leibnizian ius serta merta ditinggalkan untuk digantikan Comtian ius constitutum guna memenuhi kebutuhan bangsa untuk membangun tertib hukum nasional. Paradigma epistomologik Galilean yang berlanjut sebagai model dalam pemikiran positivisme seperti itu secara nyata dan serta merta segera saja teraplikasikan di dalam alam pemikiran hukum, untuk mempositifkan ius dalam bentuknya yang constitutum menjadi lege atau lex (aturan yang tertulis dengan jelas dan tegas, ialah aturan undang-undang). Mengklaim diri bahwa ilmu hukum adalah sekaligus juga ilmu pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat yang sudah semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas, maka para penganut positivisme dalam perkara berhukum-hukum ini mengklaim juga bahwasanya kajian ilmiah mereka tidak lagi sebatas kajian dalam bilangan jurisprudence (yang berarti ‘kearifan yuris’). Sekalipun di Eropa pada abad 19 kajian-kajian hukum nasional secara positivistik ini sudah dipopulerkan dengan sebutan sebagai positive jurisprudence – di Amerika Serikat, pada akhir abad 19 itu, di tangan Langdell yang gurubesar hukum di Universitas Harvard kajian hukum yang posiotivistik seperti itu lebih tegas lagi disebut legal science atau mechanistic jurisprudence.
Positive jurisprudence – yang, di tangan Hans Kelsen diklaim sebagai eine reine Rechtslehre, atau setepatnya (seperti yang harus dikatakan berkenaan dengan mechanistic jurisprudence tersebut di muka) harus disebut legalisme atau legisme – telah benar-benar mereduksi eksistensi manusia di dalam seluruh proses kehidupan yang dikuasai oleh keniscayaan hukum kausalitas. Bertolak dari paham seperti ini, manusia tidak terpikir untuk dikonsepkan sebagai subjek-subjek yang mempunyai kehendak bebas. Meminjam kata-kata Rousseau, positivisme sepertuinya hendak menyatakan bahwa manusia-manusia itu memang dilahirkan sebagai makhluk bebas, akan tetapi di dalam kehidupan yang nyata di masyarakat ini mereka itu akan menemukan dirinya terikat di mana-mana. Kehidupan manusia dikuasai dan dikontrol oleh seperangkat hukum positif yang  “lengkap dan tuntas” serta bersanksi, demikian rupa sehingga diyakinilah bahwa law is society. Hukum dipositifkan dengan statusnya yang tertinggi di antara berbagai norma (the supreme state of law), terdiri dari suatu rangkaian panjang pernyataanpernyataan tentang berbagai perbuatan yang didefinisikan sebagai ‘fakta hukum’ dengan konsekuensinya yang disebut ‘akibat hukum’.
Hukum Nasional Yang Modern:
Tentang Doktrinnya Yang Disusun Atas Dasar Logika Positivisme Yang Lugas
Berbeda dari hukum yang berparadigma Aristotelian dan yang mendasarkan diri pada paradigma Aristotelian, yang lebih bernuansa falsafati dan lebih mengekspresikan nilai-nilai moralitas, hukum nasional dibangun atas dasar paham aliran falsafah positivisme yang menghendaki penegasan (demi kepastian!) mana yang harus didefinisikan dan dikategorikan sebagai hukum, dan mana pula yang harus didefinisikan dan dikategorikan sebagai norma-norma sosial biasa, yang moral ataupun yang bukan moral, yang kepatuhan kepadanya atau pelanggaran terhadapnya tidak akan menimbulkan akibat hukum macam apapun.
Walhasil, hukum nasional yang menganut ajaran positivisme -- yang marak di Barat dan mengalami puncak keberhasilannya pada akhir abad 18 ini -- kemudian daripada itu akan dikenali sebagai hukum positif, dan tampil dalam rupa hukum perundang-undangan (lege, lex, atau ius constitutum yang berarti 'hukum yang sudah terbentuk'). Walhasil, hukum yang sudah dipositifkan sebagai hukum nasional ini tidaklah lagi akan cuma berupa asas-asas umum yang tidak eksplisit (melainkan implisit-implisit saja!) mengenai apa yang harus dan boleh dilakukan dan mana pula yang terlarang (disebut ius) untuk dilakukan.
Maka, di sini, dalam kajian-kajian yang semula terbilang filsafat moral, dan yang kemudian dikenali sebagai ilmu hukum (jurisprudence), konsep hukum sebagai ‘norma yang mencerminkan moral kesempurnaan Tuhan’ menjadi kian tak berfungsi dalam perannya sebagai faktor pengintegrasi kehidupan bernegara bangsa. Kemajemukan masyarakat bangsa, dengan keragaman moral atau keragaman interpretasi atas moral sentral yang ko-eksis dalam kehidupan berbangsa itu, telah mendorong dengan pesat proses sekularisasi moral -- yang semula berlaku dalam ujudnya yang partikularistik di berbagai segmen warga bangsa -- ke bentuknya yang baru sebagai hukum nasional. Moral tak lagi disadari “dari dalam” sebagai norma, atau ajaran, yang harus dipatuhi sebagai perintah suatu sumber kepenguasaan tertentu. Alih-alih demikian, moral dilihat “dari luar” sebagai nomos, atau fakta keteraturan, as it is, yang berhakikat sebagai sarana kelompok-kelompok manusia yang tengah mencoba mempertahankan kelestarian kehidupan duniawinya.
Dari sinilah awal bermulanya hukum nasional -- yang dituliskan atas dasar konsep-konsep kaum positivis  akan dikelola dan dirawat oleh sebarisan ahli yang professional. Dari sinilah awal mula ‘hukum sebagai norma-norma penata tertib’ tidak lagi menjadi objek rawatan para filosof dan/atau kaum moralis, melainkan kian berlanjut jatuh ke tangan pengelolaan dan rawatan para ahli penggunanya (ahli hukum, the lawyers) dan/atau para pengkajinya yang ilmuwan (sarjana hukum, jurist). Di sinilah awal perkembangan suatu cabang kajian ilmu baru yang disebut ilmu hukum (jurisprudence, Rechtslehre), yang bahkan kian lanjut mempromosikan diri ilmu pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat yang semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas (legal science, Rechtswissenschaft).
Sekalipun di Eropa pada abad 19, kajian-kajian hukum nasional secara positivistik ini tetap dipopulerkan dengan sebutan ‘(analytic atau positive) jurisprudence’ , – di Amerika Serikat, pada akhir abad 19 itu, di tangan Langdell yang gurubesar hukum di Universitas Harvard kajian hukum yang positivistik seperti itu lebih tegas lagi disebut legal science atau mechanistic jurisprudence. Di tangan keahlian profesional para jurists, sejumlah prinsip dikembangkan  dengan mengingati dalil-dalil logika -- untuk menata norma-norma (yang dibentuk dari asas-asas moral yang berlaku dalam masyarakat, yang oleh karena itu disebut ‘ius constitutum’ alias ‘norma-norma positif’) ke dalam suatu sistem yang koheren. Keseluruhan norma positif yang telah terorganisasi ke dalam satuan sistem yang koheren inilah yang disebut ‘sistem hukum perundang-undangan’, suatu corpus juris, dengan komponen-komponennya yang disebut ‘undang-undang’ (lex atau lege kalau jamak), yang, pada gilirannya, undang-undang ini terdiri dari pasal-pasal berikut rinciannya yang disebut ayat-ayat.
Pasal-pasal dan ayat-ayat inilah yang dalam pembicaraan sehari-hari disebut ‘aturan-aturan’, berupa kalimat-kalimat deklaratur (as it is), yang tak bermaksud membuat judgment atas dasar penilaian buruk-baik (as ought to be), yang menetapkan secara positif dan resmi di situ tentang apa faktanya (bisa berupa perbuatan manusia, bisa berupa peristiwa) yang relevan dengan persoalan hukum, dan apa pula akibat hukumnya, ialah akibat yang juga relevan dengan kehidupan hukum. Karena rumusan-rumusan deklaratur ini menyatakan apa saja fakta yang dikualifikasi sebagai yang dibangun atas dasar hubungan sebab-akibat ke dalam wujud suatu corpus juris inipun lazim pula disebut sistem hukum positif. Penataan dan pengelolaan hukum positif ke dalam sistem yang logis dan koheren inilah yang disebut ilmu hukum positif (the positive jurisprudence).
Patut diingatkan di sini bahwa pekerjaan para yuris yang mengembangkan prinsip-prinsip penataan seluruh norma-norma positif ke dalam suatu corpus yang koheren itu tidaklah harus diartikan bahwa para yuris inilah yang membuat hukum. Hukum undang-undang dibuat – atau tepatnya, setidak-tidaknya dulu pada awalnya, dibentuk -- oleh badan-badan pemerintahan, langsung atau tidak lewat proses-proses politik. Tak ayal lagi, kerja yuris boleh dikatakan akan lebih berupa pelaksanaan seni manajemen atas dasar asas-asas tertentu, bagaikan ahli bahasa yang menyusun suatu tatabahasa, dan semuapun tahu bahwa bukan para ahli inilah yang menciptakan bahasa.
Akan tetapi, sekalipun pada mulanya bekerja dengan batasan-batasan seperti itu, dengan pengembangan pemikiran dan tafsir-tafsir yang dibuatnya atas hukum nasional yang resmi itu, pada akhirnya kerja-kerja para ahli itu amat berpengaruh juga. Karena pada akhirnya hasil pemikiran dan tafsir-tafsir tersebut dalam praktik hukum tak jarang diakui berotoritas juga sebagai sumber hukum, yang dalam teori disebut ‘sumber hukum yang materiil’ (yang dibedakan dari hukum perundang-undangan yang disebut ‘sumber hukum yang formil’), tak pelak lagi kegiatan para ahli professional itu – baik yang dikemukakan dalam bentuk opini-opini lisan maupun (terlebih-lebih lagi) yang tertulis – tidaklah sekali-kali dapat diabaikan.
BAB III
Kesimpulan
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Positivisme logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Dalam pemikiran positivisme seperti itu secara nyata dan serta merta segera saja teraplikasikan di dalam alam pemikiran hukum, untuk mempositifkan ius dalam bentuknya yang constitutum menjadi lege atau lex (aturan yang tertulis dengan jelas dan tegas, ialah aturan undang-undang). Mengklaim diri bahwa ilmu hukum adalah sekaligus juga ilmu pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat yang sudah semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas, maka para penganut positivisme dalam perkara berhukum-hukum ini mengklaim juga bahwasanya kajian ilmiah mereka tidak lagi sebatas kajian dalam bilangan jurisprudence (yang berarti ‘kearifan yuris’). Sekalipun di Eropa pada abad 19 kajian-kajian hukum nasional secara positivistik ini sudah dipopulerkan dengan sebutan sebagai positive jurisprudence – di Amerika Serikat, pada akhir abad 19 itu, di tangan Langdell yang gurubesar hukum di Universitas Harvard kajian hukum yang posiotivistik seperti itu lebih tegas lagi disebut legal science atau mechanistic jurisprudence.
Paham aliran falsafah positivisme yang menghendaki penegasan (demi kepastian!) mana yang harus didefinisikan dan dikategorikan sebagai hukum, dan mana pula yang harus didefinisikan dan dikategorikan sebagai norma-norma sosial biasa, yang moral ataupun yang bukan moral, yang kepatuhan kepadanya atau pelanggaran terhadapnya tidak akan menimbulkan akibat hukum macam apapun.  Walhasil, hukum nasional yang menganut ajaran positivisme -- yang marak di Barat dan mengalami puncak keberhasilannya pada akhir abad 18 ini -- kemudian daripada itu akan dikenali sebagai hukum positif, dan tampil dalam rupa hukum perundang-undangan (lege, lex, atau ius constitutum yang berarti 'hukum yang sudah terbentuk').


Daftar Pustaka
Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Collins, James, A History of Modern European Philosophy, The Bruce Publishing Company, Milwaukee, 1954
Feibleman, James K., Understanding Philosophy :A Popular History of Ideas,Billing & Sons Ltd, London, 1986
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosilogi : Klasik dan Modern, Jil. 1Cet. 3, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983
Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah : Menurut Karl R. Popper, PT. Gramedia, Jakarta, 1989
Walsh,W.H., Philosophy of History : An Introduction, Harper Torchbooks, USA, 1967
Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar